Senin, 21 Juli 2008
Inti sari
“Aisha, aku minta maaf
Aku salah, karena selama ini aku belum ikhlas menerima ini semua
Aku tidak ikhlas menerima keadaanmu yang lebih kaya dari diriku”
(Fachri on “Ayat2cinta the movie”)
Yah, kurang lebih demikianh fahri mengucapkan kalimat tersebut kepada Aisha, setelah sekian waktu Aisha meminta izin kepada Fahri untuk merenung sejenak ke rumah Pamannya karena cemburu dengan Maria, sang istri kedua.
Setelah saya coba merenungi pengalaman saya berumah tangga dimasa lalu, mungkin itu pula yang membuat ketidakharmonisan sebuah rumah tangga. Yaitu masalah keikhlasan. Dimana antara suami seringkali tidak ikhlas melakukan perannya sebagai suami. Atau sebaliknya sang istri tidak ikhlas melakukan perannya sebagai istri.
Seperti yang dialami Fahri, ternyata memang benar tidak semua pria bisa ikhlas menerima keadaan istri yang lebih kaya, lebih menawan atau lebih berpendidikan dari suaminya. Hal ini lah yang kemudian membuat sang suami acapkali menjadi besar kepala, egoisme dan berusaha membesar-besarkan dirinya sendiri agar tidak diremehkan atau dipermalukan. Jika hal ini tidak dilandasi dengan keikhlasan menerima keadaan apa adanya, seringkali akhirnya melahirkan sensitif berlebihan yang berbuah kepada amarah, cepat tersinggung dan menjadi minder yang luar biasa.
Ataukah ketika kita sedang mengalami kekurangan. Harta yang pas-pasan dan keadaan yang tidak mencerahkan. Hutang yang banyak. Seringkali kita mudah mengeluh. Lupa ikhlas menerima bahwa keadaan seperti merupakan kehendakNya. Namun bukan berarti kita berpasrah ria begitu saja melainkan juga diiringi usaha senantiasa sebagai wujud ikhtiar kita. Jika memang keadaan masih demikian adanya, maka bersabarlah. Mungkin ini yang terbaik buat diri kita. Bisa jadi keadaan demikian menjadikan kita semakin kita dekat kepada Allah dan sering bermunajah kepadaNya.
Selain itu, kita mungkin bisa saja sanggup ikhlas untuk menerima keadaan kita yang sedang kekurangan, namun apakah kita juga bisa ikhlas menerima keadaan kita ketika kita sedang kelebihan?
Tatkala keadaan kita sudah lebih baik, harta semakin banyak, seringkali kita tidak ikhlas menerima kenyataan tersebut. Hal ini ditandai dengan tidak adanya peningkatan infaq keseharian kita. Atau membuat kita semakin memunculkan ego kita di dalam keluarga.
Tak jarang dalam keluarga yang kaya malah keharmonisan tidak terasa. Karena semakin keluarga itu kaya, maka yang terjadi pada para suami, akan berusaha berlomba-lomba untuk lebih kaya lagi, tidak puas diri dan menjadi tamak karena ketakutan hartanya akan musnah dan tidak kaya lagi.
Sang istri kemudian terkadang asyik juga memainkan perannya, bekerja dalam rangka emansipasi wanita atau malah menjadi ibunya para tetangga yang asik berbelanja dan arisan dengan tetanga atau kawan-kawannya sampai-sampai akhirnya menjadi enggan atau bahkan melupakan kewajiban mendidik anak-anak mereka. Sehingga lebih mempercayakan pendidikan anak-anak mereka pada guru privat, pembantu atau guru sekolahnya saja. Padahal pendidikan moral sang anak yang pertama dan utama terletak pada rumah tangga.
Ketika keikhlasan itu sudah hilang, maka yang terjadi adalah sang suami dan sang istri melupakan kewajiban yang sesungguhnya, apakah mereka sebagai suami-istri atau ayah – bunda dari anak-anak mereka.
Sungguh berbahagialah mereka yang dalam keadaan kaya harta namun juga kaya jiwa, sebagaimana dicontohkan oleh Ustman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf. Keluarga mereka tetap bahagia. Bahkan Nayla istri ustman tidak pernah mau menikah lagi walaupun telah menjadi janda lantaran rasa sayangnya yang luar biasa kepada Ustrman yang telah mengajarkan arti keikhlasan dalam berumah tangga.
Semoga kita menjadi orang yang ikhlas dalam menjalani kehidupan kita. Karena sesungguhnya tak ada satu orang pun di dunia yang menginginkan hidupnya sengsara. Atau menjadi tidak bahagia karena mendapatkan ujian dunia berupa harta yang melimpah. Satu hal yang utama , bahwa semua kejadian yang telah menimpa kita , semuanya telah tercatat dalam kitab-Nya Lauh-Mahfuz, maka bersabarlah menghadapi ujian ini semua. Semoga kita menjadi pribadi yang sesabar Yusuf sebijak Lukman Hakim setegar Ibrahim sekasih Muhammad Rosul akhir zaman panutan umat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar